Selasa, 14 Agustus 2012

Dongeng Legenda Batu Menangis


Legenda Batu Menangis

Darmi memandangi wajahnya lewat cermin yang tergantung di dinding kamarnya.
“Ah aku memang jelita,” katanya. “Lebih pantas bagiku untuk tinggal di istana raja daripada di gubuk reot seperti ini.”
Matanya memandang ke sekeliling ruangan. Hanya selembar kasur yang tidak empuk tempat dia tidur yang mengisi ruangan itu. Tidak ada meja hias yang sangat dia dambakan. Bahkan lemari untuk pakaian pun hanya sebuah peti bekas. Darmi mengeluh dalam hati.

Darmi memang bukan anak orang kaya. Ibunya hanya seorang janda miskin. Untuk menghidupi mereka berdua, ibunya bekerja membanting tulang dari pagi hingga malam. Pekerjaan apapun dia lakukan. Mencari kayu bakar di hutan, menyabit rumput untuk pakan kambing tetangga, mencucikan baju orang lain, apapun dia kerjakan untuk bisa memperoleh upah. Sebaliknya Darmi adalah anak yang manja. Sedikit pun dia tidak iba melihat ibunya bekerja keras sepanjang hari. Bahkan dengan teganya dia memaksa ibunya untuk memberinya uang jika ada sesuatu yang ingin dibelinya.
“Ibu, ayo berikan uang padaku! Besok akan ada pesta di desa sebelah, aku harus pergi dengan memakai baju baru. Bajuku sudah usang semua,” katanya.
“Nak, kemarin kan kau baru beli baju baru. Pakailah yang itu saja. Lagipula uang ibu hanya cukup untuk makan kita dua hari. Nanti kalau kau pakai untuk membeli baju, kita tidak bisa makan nak!” kata ibunya mengiba.
“Alah itu kan urusan ibu buat cari uang lagi. Baju yang kemarin itu kan sudah aku pakai, malu dong pakai baju yang itu-itu lagi. Nanti apa kata orang! Sudahlah ayo berikan uangnya sekarang!” kata Darmi dengan kasar.
Terpaksa sang ibu memberikan uang yang diminta anaknya itu. Dia memang sangat sayang pada anak semata wayangnya itu.

Begitulah, hari demi hari sang ibu semakin tua dan menderita. Sementara Darmi yang dikaruniai wajah yang cantik semakin boros. Kerjaannya hanya menghabiskan uang untuk membeli baju-baju bagus, alat-alat kosmetik yang mahal dan pergi ke pesta-pesta untuk memamerkan kecantikannya.
Suatu hari Darmi meminta ibunya untuk membelikannya bedak di pasar. Tapi ibunya tidak tahu bedak apa yang dimaksud.
“Sebaiknya kau ikut saja ibu ke pasar, jadi kau bisa memilih sendiri,” kata ibunya.
“Ih, aku malu berjalan bersama ibu. Apa kata orang nanti. Darmi yang jelita berjalan dengan seorang nenek yang kumuh,” katanya sambil mencibir.
“Ya sudah kalau kau malu berjalan bersamaku. Ibu akan berjalan di belakangmu,” ujar ibunya dengan sedih.
“Baiklah, ibu janji ya! Selama perjalanan ibu tidak boleh berjalan di sampingku dan tidak boleh berbicara padaku!” katanya.
Ibunya hanya memandang anaknya dengan sedih lalu mengiyakan.

Akhirnya mereka pun berjalan beriringan. Sangat ganjil kelihatannya. Darmi terlihat sangat cantik dengan baju merah mudanya yang terlihat mahal dan dibelakangnya ibunya yang sudah bungkuk memakai baju lusuh yang penuh tambalan. Di tengah jalan Darmi bertemu dengan teman-temannya dari desa tetangga yang menyapanya.
“Hai Darmi, mau pergi kemana kau?” sapa mereka.
“Aku mau ke pasar,” jawab Darmi.
“Oh, siapa nenek yang di belakangmu itu? Ibumu?” tanya mereka.
“Oh bukan! Bukan!. Mana mungkin ibuku sejelek itu. Dia itu cuma pembantuku,” sahut Darmi cepat-cepat.
Betapa hancur hati ibunya mendengar anak kesayangannya tidak mau mengakuinya sebagai ibunya sendiri. Namun ditahannya rasa dukanya di dalam hati.

Kejadian itu berulang terus menerus sepanjang perjalanan mereka. Semakin lama hati si ibu semakin hancur. Akhirnya dia tidak tahan lagi menahan kesedihannya. Sambil bercucuran air mata dia menegur anaknya.
“Wahai anakku sebegitu malunyakah kau mengakui aku sebagai ibumu? Aku yang melahirkanmu ke dunia ini. Apakah ini balasanmu pada ibumu yang menyayangimu?”
Darmi menoleh dan berkata, “Hah aku tidak minta dilahirkan oleh ibu yang miskin sepertimu. Aku tidak pantas menjadi anak ibu. Lihatlah wajah ibu! Jelek, keriput dan lusuh! Ibu lebih pantas jadi pembantuku daripada jadi ibuku!”
Usai mengucapkan kata-kata kasar tersebut Darmi dengan angkuh kembali meneruskan langkahnya.

Ibunya Darmi sambil bercucuran air mata mengadukan dukanya kepada Tuhan. Wajahnya menengadah ke langit dan dari mulutnya keluarlah kutukan, “Oh Tuhanku! Hamba tidak sanggup lagi menahan rasa sedih di hatiku. Tolong hukumlah anak hamba yang durhaka. Berilah dia hukuman yang setimpal!”
Tiba-tiba langit berubah mendung dan kilat menyambar-nyambar diiringi guntur yang menggelegar. Darmi ketakutan dan hendak berlari ke arah ibunya. Namun dia merasa kakinya begitu berat. Ketika dia memandang ke bawah dilihatnya kakinya telah menjadi batu, lalu kini betisnya, pahanya dan terus naik ke atas. Darmi ketakutan, dia berteriak meminta pertolongan pada ibunya. Tapi ibunya hanya memandangnya dengan berderai air mata.
“Ibu, tolong Darmi bu! Maafkan Darmi. Aku menyesal telah melukai hati ibu. Maafkan aku bu! Tolong aku…” teriaknya. Ibu Darmi tidak tega melihat anaknya menjadi batu, tapi tidak ada yang bisa dilakukannya. Nasi sudah menjadi bubur. Kutukan yang terucap tidak bisa ditarik kembali. Akhirnya dia hanya bisa memeluk anaknya yang masih memohon ampun dan menangis hingga akhirnya suaranya hilang dan seluruh tubuhnya menjadi batu.






Legend of Crying Stones


Darmi looked at his face through the mirror that hung on the wall of his room.
"Ah I was beautiful," he said. "More appropriate for me to stay in the palace of the king rather than at the decrepit shack like this."

His eyes looked around the room. Only a mattress is not soft where he slept that fills the room. There was no dressing table which he craved. Even the locker room was just an old crate. Darmi groan inwardly.

Darmi was not a rich kid. His mother was only a poor widow. To support them both, his mother worked hard from morning till night. Any work he did. Looking for firewood in the forest, mowing the grass to feed goats neighbors, washing clothes of others, whatever he did to earn the wages. Instead Darmi is a spoiled child. Slightest pity he did not see his mother worked hard all day. Even with how could he forced his mother to give him money if there is something you want to buy.

"Mom, let's give money to me! Tomorrow there will be a party in the next village, I have to go by wearing new clothes. My clothes are worn all, "he said.

"Son, do you just bought yesterday a new dress. Wear that's it. Moreover, the mother just enough money to feed us two days. Later if you use to buy clothes, we can not eat boy! "Said his mother pleaded.

"Alah's mother made it her business to make money again. Yesterday the clothes I wear it already, shame dong wear it-that again. Later what they say! Anyway let's give the money now! "Said Darmi harshly.

The mother was forced to give money demanded his son. He was very fond of the child's only child.

And so, day after day the mother is getting old and suffering. While Darmi endowed with a pretty face increasingly wasteful. Job only spend the money to buy nice clothes, the tools are expensive cosmetics and go to parties to show off her beauty.

Darmi one day asked his mother to buy him the powder on the market. But her mother did not know what the powder.

"You'd better come along to the market's mother, so you can choose your own," said his mother.

"Jeez, I'm embarrassed to walk with his mother. What people say. Darmi a lovely walk with a grandmother who slums, "he said with a sneer.

"Well if you're embarrassed to walk with me. Mother would walk behind you, "said her mother sadly.

"Well, mother promise ya! During the trip the mother should not walk beside me and should not be talking to me! "He said.

Her mother just looked at her sadly and said yes.

Finally they walked hand in hand. Very odd as it seems. Darmi looks very pretty with her pink clothes that look expensive and stooped behind her mother's wearing shabby clothes full of patches. On the way Darmi met with his friends from neighboring villages who greeted him.

"Hi Darmi, want to go where you been?" Said they.
"I'm going to the market," said Darmi.
"Oh, grandmother who is behind it? Your mother? "They asked.

"Oh no! Not!. How could my mother that bad. He was just a servant, "said Darmi quickly.
How heartbroken mother heard her beloved child did not want to admit it as his own mother. But the arrest of grief in my heart.

The incident was repeated continuously throughout their journey. The longer the heart of the mother getting smashed. Finally he could not stand longer hold his grief. While in tears he rebuked his son.

"O my son so malunyakah you recognize me as a mother? I had you into this world. Is this you repay your mother who loves you? "

Darmi turned and said, "Huh I did not ask to be born by mothers who are poor like you. I do not deserve to be the child's mother. Look at the mother's face! Ugly, wrinkled and shabby! Mother more worthy to be maid than be my mother! "

After saying such harsh words Darmi proudly resumed his stride.

His mother was in tears as she Darmi denounce her grief to the Lord. His face looked up into the sky and curse out of his mouth, "Oh my God! Servants could no longer contain his sadness in my heart. Please punish the rebellious slave children. Give him an appropriate punishment! "

Suddenly the sky turned cloudy and darting lightning accompanied by thunder boomed. Darmi frightened and started running toward his mother. But he felt his legs were so heavy. When he looked down he saw his legs had turned to stone, and now her calves, thighs and continues to rise upwards. Darmi fear, he cried out for help to his mother. But her mother just looked at him with tears laughing.

"Mother, please Darmi bu! Forgive Darmi. I'm sorry to have hurt the mother. I'm sorry bu! Help me ... "he shouted. Darmi mother can not bear to see his son become a stone, but no one could do. Rice has become porridge. The curse were spoken irrevocable. Finally he could only hold her still for mercy and cried until finally lost his voice and his whole body into stone.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar